|
Konvoi Pasukan Belanda (sumber: wikipedia) |
Pada masa revolusi fisik setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan negara yang baru merdeka masih sangat mencekam. Pihak Belanda masih ingin menguasai nusantara dengan mengerahkan pasukan sekutu menyerang wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Peristiwa pendudukan kembali wilayah Republik ini di kenal dengan Agresi Militer Belanda.
Pada tahun 1947, Belanda menyerang wilayah Republik Indonesia dengan kekuatan militer lengkap. Akibat serangan Militer Belanda mampu menguasasi kota-kota besar dan membuat TNI tercerai berai dan terdesak ke wilayah pinggiran. Pada tahun 1948, Belanda menyerang dan menguasai Kota Yogjakarta dan menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Bung Hatta dan Syahrir, dan beberapa menteri termasuk Agus Salim.
TNI yang pada waktu itu dipimpin Jenderal Soedirman bersama rakyat tetap melakukan perlawanan dengan taktik perang gerilya untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih tegak berdiri. Aksi perang gerilya yang dilakukan dilakukan disekitar Kota Yogjakarta meluas hingga wilayah perbatasan Jawa Tengah termasuk di Kabupaten Wonogiri.
Pasukan – pasukan kecil TNI dengan gagah berani menghadapi militer Belanda dengan melakukan serangan gerilya untuk membuat kekacauan militer Belanda. Pada tanggal 10 Mei 1949, satu regu pasukan gerilya tiba di Dukuh Krisak Desa Singodutan wilayah Selogiri. Pasukan gerilya memberitahukan kepada rakyat di Dukuh Krisak untuk meninggalkan rumah, karena akan ada serangan berupa penghadangan dan penghancuran kepada konvoi militer Belanda yang akan melintasi wilayah ini.
Tengah malam pada tanggal 11 Mei 1948, di Sendang Siwani Pasukan Gerilya mengatur strategi serangan dan membagi pasukan serta daerah penyerangan. Pasukan dibagi menjadi tiga seksi pasukan, yaitu satu seksi pasukan dengan Senapan Mesin Ringan bersiaga di Gunung Poncol, satu seksi pasukan senapan dengan Tekkidanto (pelempar granat) di Putuk sebelah selatan Pasar Krisak dan satu seksi senapan bersiaga penuh di wilayah Puntuk Karangtengah.
Setiap seksi pasukan bersenapan ini akan dibantu oleh Regu Pertahanan Desa (Puger Desa) dari Desa Singodutan. Pasukan gerilya dengan penuh kesiapsiagaan, memasang ranjau di Jembatan Krisak untuk menghancurkan kendaraan militer Belanda yang nanti akan melewati wilayah ini.
Hingga akhirnya pada pagi hari 11 Mei 1949 jam 07.00 WIB, iring-iringan konvoi pasukan Belanda berangkat dari Maras Militer di Wonogiri. Konvoi militer Belanda sebanyak 7 kendaraan truk yang memuat 5-6 orang pasukan yang terdiri dari Tentara/ Polisi Belanda dan tenaga garukan dari penduduk Dukuh Kaloran Sukorejo Giritirto.
Pada jam 07.15 konvoi Militer Belanda memasuki daerah penghadangan. Ketika truk kedua melewati jembatan, tiba-tiba 2 buah ranjau meledak keras hingga menghancurkan truk Militer Belanda. Sejurus kemudian, pasukan gerilya TNI dengan persenjataan serentak mengarahkan serangan kepada pasukan Militer Belanda. Suara rentetan tembakan menimbulkan kepanikan pasukan Belanda yang tidak mengira akan diserang dengan dahsyat.
Melihat militer Belanda yang kocar-kacir meninggalkan kendaraan, dimanfaatkan Pasukan Gerilya naik ke kendaraan dan merampas persenjataan beserta peluru serta satu kotak obat-obatan.15 menit berlalu dengan suasana mencekam hingga datanglah bala bantuan militer Belanda dari arah utara. Situasi menjadi tidak menguntungkan Pasukan Gerilya hingga memutuskan menarik mundur pasukan dan menghilangkan jejak untuk menghindari pengejaran.
Akibat serangan kilat Pasukan Gerilya TNI bersama rakyat Selogiri mengakibatkan korban tewas di pihak Belanda yaitu 8 orang tentara, 3 orang Polisi Belanda dan 5 orang tenaga Garukan. Kemudian korban terluka dari militer Belanda dan tenaga Garukan berjumlah total 38 orang. Sedangkan pihak Pasukan Gerilya TNI telah gugur 2 orang anggota yaitu Prajurit Umbar dan Prajurit Suparman.
Akibat serangan Pasukan Gerilya TNI ini membuat militer Belanda marah besar. Keesokan harinya, dengan membawa pasukan lebih banyak, militer Belanda datang lagi ke sekitar lokasi serangan dan membakar rumah-rumah penduduk di sekitar Pasar Krisak. Sebanyak 35 rumah penduduk hangus terbakar dan rata dengan tanah.
Setelah pembakaran pasukan Belanda terus siaga dan mengerahkan pasukan patroli untuk mengawasi setiap gerakan Pasukan Gerilya TNI. Hari berikutnya, pasukan patroli Belanda menembak mati Mayor Martodikromo, Suginem yang merupakan seorang istri dari Kabayan Krisak bernama Topawiro dan Nyonya Harjo seorang penduduk Brajan.
Kobar semangat mempertahankan tanah air terus menyala dengan serangan-serangan kecil kepada militer Belanda. Fakta sejarah membuktikan bahwa rakyat Selogiri dan Wonogiri pada umumnya ikut serta dan gigih berjuang melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai bumi pertiwi.
Kisah Pertempuran Krisak diabadikan dengan membangun sebuah Monumen Perjuangan 45 di tikungan jalan raya Krisak Selogiri. Di depan Prasasti Patung Pejuang tertulis kata mutiara perjuangan “Di sinilah darahku mengalir, Di sini pula hidupku berakhir, Tapi aku rela hatikupun ikhlas, Tak kan menuntut jasa, tiada sedikitpun minta balas, Karena aku yakin dan percaya Indonesia tetap merdeka dan jaya “.
|
Monumen Perjuangan 45 Krisak (sumber : Timlo.net) |
Semoga kisah Pertempuran Krisak menjadi satu spirit perjuangan untuk diteruskan kepada generasi muda penerus bangsa bahwa negara dan bangsa Indonesia didirikan serta dipertahankan dengan pengorbanan cucuran darah dan tetesan air mata.