Peninjauan Pembangunan Waduk Gajah Mungkur |
BAGIAN KEDUA
LIMA upacara besar menghantar dan menyambut para transmigran angkatan pertama ini. Dalam sejarah penyelenggaraan transmigrasi di republik kita, pemberangkatan warga Karanglo adalah yang termegah dan terapi sepanjang ingatan saya. Tak pernah saya dengar atau lihat orang menghardik, apalagi memeras transmigran. Hanya bujuk rayu dan kata-kata penghibur serta harapan yang melangit sajalah yang saya dengar. Baik dari para petugas transmigrasi, bupati, Ibu Gubernur maupun Bapak Menteri.
Setelah dua hari di Transito Wonogiri dan sebagian di Sala, mereka diangkut bus ke stasiun kereta api Sala Jebres. Tidak satu bus pun penuh berisi transmigran. Berbeda dengan biasanya. Mereka yang menginap di Wonogiri dilepas dengan upacara yang dihadiri lengkap oleh para camat serta para pejabat setempat. Di sepanjang jalan menuju Sala, para pramuka dikerahkan, bendera dikibarkan dan penduduk berduyun-duyun memenuhi pinggir jalan dan meneriakkan “ Selamat Jalan!”. Terpaksa tersenyum juga saya mendengar teriakan “selamat jalan” pula dari dalam bus transmigran.
“Selamat jalan Wonogiri! Selamat jalan !” teriak seorang bapak sambil melambaikan tangannya kepada para pengantarnya di pinggir jalan. Sungguh, iring-iringan bus mereka disambut sangat meriah bagaikan Menteri Dalam Negeri yang sedang lewat.
Kereta api Senja Sala hari itu khusus untuk transmigran 448 jiwa ditambah wartawan dan pengawal transmigran sekitar 50 orang. Di peron stasiun berderet kursi untuk upacara. Di tengahnya diletakkan dua “lodong” berisi tanah dan air asal Wonogiri yang nantinya diserahkan oleh Gubernur Wonogiri Bapak Supardjo kepada bayan Karanglo.
Hadir pula Menteri Nakertranskop Subroto yang berpidato dengan muka berseri-seri dan kemudian menyalami setiap kepala keluarga yang berseragam kuning-kuning. Ibu-ibu pembesar masuk gerbong menyalami anak-anak, ibu-ibu tua dan bapak-bapak yang sudah pikun.
Akhirnya kepala Stasiun Jebres yang berjas dan berdasi rapi itu meniup peluit. Menteri Subroto mengibarkan bendera hijau dan kereta pun berangkat menuju Jakarta. Sungguh upacara semarak. Tapi ini baru babak pertama.
DALAM kereta api luar biasa yang terdiri dari delapan gerbong ini, tak seorang penumpang umum pun boleh masuk. Seorang bidan dan dua juru rawat mondar – mandir mencari pasien. Di Stasiun Yogya, Kroya, dan Cirebon tersedia minuman teh gratis sementara itu para kondektur dan petugas stasiun berpakaian rapi dan bersikap ramah. Tempat yang longgar, perlakuan yang menyenangkan inilah yang mungkin membuat perjalanan tidak terasa melelahkan.
Sebenarnya para transmigran itu tak seberapa banyak lagi membawa barang. Sebagian besar sudah diangkut dengan truk ke Jakarta langsung ke Tanjungpriok. Tetapi sebelum berangkat, mereka masih menerima berbagai bingkisan, baik dari swasta maupun kantor transmigrasi setempat.
Sebuah perusahaan jamu membekali 100 bungkus jamu plus dua selimut untuk setiap kepala keluarga. Pemda Wonogiri memberikan ember, gayung, jerigen, caping, bibit-biji-bijian, tas dan lain-lain. Masih ditambah dari Kantor Transmigrasi berupa bungkusan dua tikar yang berisi satu stel pakaian pria dan wanita termasuk behanya, cerek, celana kolor dan baju “kokak” (untuk kerja di sawah) untuk lelaki dan perempuan.
Semula DLLAJR (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya) setempat telah menyediakan 20 truk untuk membawa barang-barang mereka. Tetapi ternyata cukup diangkut 14 truk saja. Isinya macam-macam, mulai sepeda, kasur, lemari sampai ke “galar”. Memang, jika dinilai banyak di antara barang-barang itu yang tidak begitu berharga (terutama bagi orang kota). Dapat dipastikan, harga barang dengan ongkos-angkut ke Sitiung masih jauh lebih mahal ongkosnya. Itulah sebabnya para petugas kantor transmigrasi di Sitiung sampai geleng-geleng kepala.
Dari seratus kepala keluarga yang dipindahkan saat itu, kebanyakan “petani kenceng “. Artinya mempunyai sawah, pekarangan dan rumah. Jumlah mereka kurang lebih separoh dari seluruh rombongan. Sisanya petani “kendon” (punya pekarangan dan rumah) dan “magersari” (hanya punya rumah saja). Itulah sebabnya sebagian besar dari mereka mampu membeli sepeda dan lampu petromak. Begitu ganti rugi dibagikan, mereka pun membelanjakan uangnya begitu saja. Ini berarti musim panen bagi para pedagang Wonogiri. Harga-harga naik serentak, karena permintaan begitu kuatnya.
Untunglah pemerintah hanya membagikan 30% dari seluruh ganti rugi. Itu pun dalam dua tahap. Pertama 10% secara tunai minimal Rp. 50.000,-. Bagi mereka yang mendapat ganti rugi kurang dari Rp. 50.000,- tentu saja mendapat seluruh bagiannya.
Kemudian dibagikan Tabanas yang berisi 20% dari seluruh ganti rugi. Sesuai dengan aturannya, Tabanas itu baru dapat diuangkan minimal sebulan setelah tanggal penyetoran pertama. Sedangkan 70% lagi berbentuk deposito berjangka enam bulan. Mereka hanya dapat mengambil bunganya 1% setiap bulan dan baru dapat diambil pokoknya setelah enam bulan.
KERETA API melaju memasuki kota Jakarta pada hari Kamis 25 Nopember dinihari. Karena mengangkut penumpang khusus, kereta api pun langsung menuju Stasiun Tanjungpriok. Inilah kereta api penumpang yang pertama masuk di Stasiun Tanjungpriok sejak setasiun itu ditutup berpuluh tahun yang lalu.
Di peron nampak berderet kursi untuk upacara serah terima dari Kanwil Transmigrasi Jateng ke DKI Jaya. Walaupun jam baru menunjukkan angka enam, tetapi para Pejabat Tinggi Transmigrasi, Walikota Jakarta Utara Dwinanto dan para wartawan Ibukota sudah siap menanti. Seratus kepala keluarga berseragam kuning itu pun dijejerkan lagi.
Setelah upacara selesai, merekapun masuk bus-bus yang telah berderet-deret rapi di depan stasiun. Semuanya masih bagus dan para penumpang dapat naik dengan longgar tak perlu berdesakan seperti dalam bus kota. Dan ketika memasuki dermaga penumpang, bunyi klenengan dari kapal Bengawan menyambutnya hangat.
Kali ini kapal itu nampak begitu bersih, baik palka maupun deknya. Tak ada kesibukan kuli-kuli pelabuhan. Semuanya teratur. Ketika para transmigran memasuki dek kapal, dari gedung terminal sampai pintu dek dipagar betisi para pejabat dan petugas-petugas pelabuhan. Suatu pemandangan yang aneh, asing dan terasa menggelitik bagi saya yang sering menyaksikan keberangkatan transmigran. Setelah para transmigran mendapat tempat, barulah penumpang umum boleh masuk.
Perjalanan ke Teluk Bayur yang memakan waktu tiga hari dua malam itu berlangsung baik-baik saja. Tak ada ombak yang berarti bagi KM Bengawan. Namun demikian para transmigran selalu muntah jika diberi lauk ikan laut. “Baiklah untuk trip selanjutnya akan kami sediakan ikan asin!” kata Sardjono, manager pasasi PN PELNI kepada pers.
Begitu kapal merapat, Bupati Wonogiri yang hari Jumat melepas mereka di Jebres, kini naik ke kapal bersama beberapa pejabat Ditjen Transmigrasi lainnya. Penumpang umum dipersilahkan turun, transmigran beserta rombongan lainnya tetap di kapal sampai Selasa pagi tiba.
Rupanya masih ada upacara lagi!
(Sumber : Kompas, 8 Desember 1976 - Yang di Up load pada Group FB Menggali Sejarah Wonogiri)