SERI CERITA RAKYAT WONOGIRI: Legenda Umbul Nogo Cerita Rakyat Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri (Bagian II - Habis)



Ilustrasi Pertarungan Gajah Tunggangan Joko Lelono dan Ular Naga Peliharaan Ratu Dyah Ayu Putri Serang


Sementara itu, sambil menunggu kedua abdi kembali, Joko Lelono mengamati tempat ia berada. Tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya terang sebesar lidi bergerak menuju suatu tempat.

Penasaran dengan apa dilihatnya, Joko Lelono kemudian mengikuti kemana arah cahaya itu bergerak. Hingga akhirnya cahaya itu berhenti pada sebuah tempat yang merupakan kekuasaan Dyah Ayu Putri Serang Sang penguasa kerajaan roh halus (Alaming Lelembut).

Setelah sampai di wilayah kerajaan ini, Joko Lelono tahu ini bukan tempat sembarangan. 

Dalam pandangan mata batinnya dilihatnya sebuah Gerbang yang megah. Dijaga oleh para prajurit yang gagah berani. Begitu sampai di gerbang ini, Raden Joko Lelono dijemput oleh sang prajurit. Seakan tahu bahwa Joko Lelono memang sedang ditunggu. “Selamat datang Tuan. Mari hamba antarkan menuju istana, Ratu sudah menunggu kedatangan Tuanku” sapa sang prajurit. Untuk menandai pintu gerbang ini, kemudian diberi nama Lawang Gapit.

Joko Lelono kemudian dikawal menuju ke dalam istana yang megah. Joko Lelono sangat kagum dengan besarnya istana dihadapannya. Hatinya pun bergumam, siapakah pemilik istana ini.


Setelah dipersilahkan duduk di singgasana untuk tamu kerajaan, Joko Lelono berdiam sambil menunggu kedatangan Sang Ratu. Akhirnya Sang Ratu pun muncul dibalik tirai sutera di pintu utama istana. Raden Joko Lelono terkesima dengan kecantikan sang Ratu Lelembut. Begitu juga, Dyah Ayu Putri Serang menunjukkan tingkah mengagumi sosok pemuda didepannya.


“Salam sang Ratu. Ampunkan keberanian hamba datang ke kerajaan Sang Ratu” sapa Joko Lelono seraya merapatkan kedua tangan didepan dada.

“Tuan yang gagah perkasa. Memang sengaja aku mengundang Tuan. Perkenalkan nama hamba Ratu Dyah Putri Serang. Penguasa kerajaan ini.” jawab Sang Ratu sambil melemparkan senyum manis.

“Perkenalkan nama saya Joko Lelono dari kerajaan Mataram.” tegas Joko Lelono.

Setelah perkenalan itu, pembicaraan kedua insan ini semakin akrab, sekali-kali diselingi tawa riang keduanya.


“Tuan Joko Lelono, maukah tinggal disini untuk menemani kesepianku selama ini.” pinta sang Ratu. Setelah terdiam beberapa saat, Joko Lelono pun menjawab “Sungguh suatu takdir, saya juga  sedang mencari pedamping hidup. Dan telah lama dan jauh perjalanan untuk menemukannya.”


“Sanggupkah apabila bersedia memenuhi permintaanku?” Tanya Sang Ratu. “Syarat apakah kiranya?” kata Joko Lelono. “Apabila Tuan bersedia, maka Tuanku tidak akan bisa kembali ke alam sebelumnya.” Terang Sang Ratu.

“Ah Sang Ratu, demi mendampingi Sang Ratu saya sanggup memenuhi syarat tersebut.” Jelas Joko Lelono. Mulai saat itulah, Joko Lelono tidak bisa lagi kembali ke dunia dan terkunci kedalam kerajaan Sang Ratu Dyah Putri Serang penguasa alaming lelembut.


Ditempat lain, Ki Merkak dan Ki Jebres telah kembali dari pencarian payung. Mereka terkejut, karena Joko Lelono dan gajah tunggangannya sudah tidak berada ditempat. Mereka pun mencari dengan mengikuti jejak kaki gajah. Setelah sekian lama. Akhirnya tiba disuatu tempat yang memiliki aura mistis dan menyeramkan. Hawa dingin seakan menusuk tulang, suara binatang yang melolong diiringi harum aroma bunga yang membuat bulu kuduk merinding.


“Ki Merkak, mata batin saya mengatakan disinilah tuan kita Joko Lelono berada. Akan tetapi saya belum melihat yang sebenarnya.” kata Ki Jebres kepada temannya.

“Lihatlah, itu gajah tunggangan Tuan Joko Lelono” teriak Ki Merkak sambil menunjuk sebuah pohon tempat terikatnya gajah.


“Tempat ini sangat angker. Kita tidak bisa meneruskan masuk ke dalam wilayah ini” tutur Ki Jebres. “Baiklah. Saya akan menemui Joko Lelono melalui kekuatan gaib.” Kata Ki Merkak.

Ia kemudian duduk bersila pada sebuah batu. Mengatupkan mata dan mulai bersemadi, melakukan telepati untuk berbicara dengan Joko Lelono.

Dalam telepati ia berhasil menemui Joko Lelono. Dengan kekuatan gaib pula mereka bisa berkomunikasi. “Tuan, apakah yang sebenarnya terjadi. Dimanakah Tuan berada?” tanya Ki Merkak. “Maafkanlah saya paman berdua. Saya telah terikat janji dengan penguasa kerajaan lelembut. Sudah menjadi niat saya tinggal disini. Saya tidak mungkin kembali ke alam dunia.” Jawab Joko Lelono. “Baiklah Tuan, kami berdua akan meneruskan perjalanan. Untuk menandai peristiwa ini, saya beri nama tempat ini Tompak.” Ujar Ki Merkak dan Ki Jebres.


“Tolong paman, rawatlah gajah tungganganku. Jaga baik-baik hewan kesayangan itu.” Pinta Joko Lelono. “Tolong paman pergilah ke arah utara, temuilah pasangan tua sakti Ki Makarang dan sang istri. Mintalah petunjuk kepadanya.” Perintah Joko Lelono. Kedua paman itu menyanggupi dan segera memohon pamit melanjutkan perjalanan.

Kedua paman setia itupun berjalan ke arah utara. Setelah beberapa waktu melakukan perjalanan hingga sampai di tempat Ki Makarang berada. Segera mereka menemui Ki Makarang dan mohon petunjuk apa yang harus dilakukan.


Sungguh ajaib, Ki Makarang hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sudah tahu semua yang dialami Ki Merkak dan Ki Jebres. “Terimalah kelapa muda dan tape ketan sebagai bekal di perjalanan ki sanak.” kata Ki Makarang kepada kedua abdi dalem Joko Lelono.

“Kembalilah segera jemput gajah tunggangan Tuan kalian karena jika terlambat akan membahayakan kesemalatannya.” lanjut Ki Makarang. Dengan bergegas kedua paman pergi mencari sang Gajah.


Sementara itu, di pohon tempat gajah sudah tercabut hingga akarnya. Gajah tunggangan Joko Lelono terlihat mengamuk dan menimbulkan suara gaduh yang luar biasa. Pohon-pohon ditumbangkan, bebatuan beterbangan di tendang gajah itu. Karena suara bising dan gaduh inilah membuat peliharaan Sang Ratu Dyah Ayu Putri Serang yaitu seekor ular Naga besar terbangun.

Mata ular Naga nanar seakan menahan amarah karena terbangun oleh suara gaduh sang Gajah.


Segera ia merayap mendekati sumber suara dan didapatinya Gajah tunggangan Joko Lelono masih mengamuk. Tanpa banyak bertingkah, Ular Naga mendekati Gajah dan segera bersiap menyerang. Melihat kedatangan Ular Naga, Gajah terdiam dan menghentikan sejenak amukannya.


Gajah tahu bahwa Ular Naga dihadapannya sedang menyiapkan jurus mematikan. Ular Naga pun berdesis keras, lidahnya menjulur dan siap menyerang dengan menyemburkan api. Gajah bergeming, dengan gading yang besar segera menyerang perut Ular Naga.

Keduanya pun terlibat pertarungan yang luar biasa. Saling menyerang dengan senjata masing-masing hingga tempat pertarungan berantakan.

Ki Merkak dan Ki Jebres akhirnya sampai di tempat pertarungan. Mereka terkejut, apa yang dikatakan Ki Makarang benar adanya. Ternyata Gajah dan seekor Ular Naga sedang bertarung yang bisa membahayakan keselamatan. Ki Merkak dan Ki Jebres tidak berani mendekat karena kekuatan kedua binatang begitu dahsyat. Setelah kedua binatang bertarung dengan hebatnya, tidak ada yang menang dan kalah. Baik Gajah dan Ular Naga tubuhnya sama-sama hancur, meledak hingga tercerai berai. Seraya mengumpulkan potongan Gajah dan Ular, Ki Merkak memendam buah kelapa pemberian Ki Makarang.


Mereka berjalan ke arah selatan di tempat potongan perut Ular Naga berada. Potongan perut ular ini yang ada pusarnya memancarkan sumber air jernih kemudian hari  diberi nama Umbul Ngudal. Sedangkan potongan badan gajah jatuh diutara tempat itu dan menjadi sebuah gunung yaitu Gunung Gajah Mungkur.

Setelah merasa capek, kedua abdi dalem teringat bekal yang diberikan Ki Makarang yaitu buah kelapa muda yang telah dipendam di suatu tempat. Mereka pun mencari dengan menggunakan batang bambu dengan menusuk ke tanah sambil mencari buah kelapa. Tidak disangka, tusukan batang bambu mengenai buah kelapa dan air kelapa keluar dan menjadi sumber air yang besar. Untuk menandai sumber air ini kemudian hari dikenal dengan Umbul Nogo karena tempat pertarungan Ular Naga.


Semakin lama air menggenangi wilayah itu hingga mencapai rumah Ki Makarang. Ki Merkak dan Ki Jebres bersemadi mohon petunjuk bagaimana menghentikan aliran air. Setelah mendapat petunjuk, mereka segera menyediakan syarat agar air bisa berhenti atau mengecil, yaitu seekor kambing kendit, ijuk atau sapu duk, dan dandang. Setelah menyediakan syarat ini, sumber air kemudian bisa mengecil. Untuk mengenang kejadian ini, Ki Merkak dan Ki Jebres menamakan wilayah ini Karanglor karena dekat dengan rumah Ki Makarang.


Setelah semua kejadian ini selesai Ki Merkak dan Ki Jebres menemui Ki Makarang. “Dan pesan saya Ki Makarang, sumber air akan menjadi sumber kehidupan bagi anak cucu. Dan kelak jika anak cucu kita menanam padi disekitar sini hendaklah saat panen harus menyediakan kelapa muda, tebu dan badeg (badeg = tape ketan), kami akan membantu anak cucu untuk memperoleh kemakmuran." ujar Ki Jebres panjang lebar.

"Baiklah, akan kuingat pesan Kyai." jawab Ki Makarang. "Ya Ki. Ingatlah terus pesan kami maka kami akan membantu anak cucu kami di Karanglor ini secara sesingidan (secara gaib)." ujar Ki Jebres.


Setelah berpamitan dengan Ki Makarang, mereka segera melanjutkan perjalanan. Itulah kisah Legenda Umbul Nogo sebuah Cerita Rakyat Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri. Penasaran dengan Umbul Nogo Kabupaten Wonogiri? Ayo Rame-Rame Neng Wonogiri! 

(Ditulis kembali dari berbagai sumber).


Share:

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support